Selasa, 23 Agustus 2011

HILITE NEWS READER CONTEST

2 Maret 2011
Terlalu pagi kubuka hari ini. Sungguh mengginggil ku merambah air wudlu. Kubuka lemari, dan kutarik beberapa helai seragam harianku. ”Astaga !” Aku segera ingat. Hari ini takkan sampai kakiku di SMANISDA. Agendaku bertandang ke UNAIR bersama Via, Ariska, dan Ully untuk turut menanggalkan nama sebagai peserta HILITE News Reader CONTEST.
Jalanan masih sepi, ketika ku dengan high speed meluncur ke tengah kota menuju Stasiun Sidoarjo. Rupanya, sepagi ini segelintir orang sudah memadati areal loket. Tetapi tak kujumpai 1 pun kroniku bersiaga disana. Aku sedikit tak percaya diri. Takut kalau-kalau salah stasiun. Jari-jemariku mulai menggerayangi tuts-tuts ponsel. “Hallo, Tan ! Kamu sudah dimana ?” katanya dari seberang. Berkisar 10-15 menit kemudian, kucium tangan Bapakku. “Assalamu’alaikum.” kataku tiba-tiba. Dan Bapakku menjawab lirih “Wa’alaikum salam.”
Komuter yang dinantikan datang dari selatan, membukakan pintu untuk penumpang yang seraya menyerbunya. Kulepaskan sebuah sandaran tasku dan kupalingkan kedepan. “Fuck !” kataku dalam hati. Bangku panjang sudah penuh, dan tak tersisa 1 peganganpun. Sesekali aku terdorong kedepan. Dan beberapa lelaki setengah baya mulai beranjak dari tempat duduknya, lalu menghempaskan sepatunya diatas kakiku. “Aw..” aku berseru kecil. Tetapi orang itu tak sedikitpun berniat meminta maaf padaku. Segera aku ingat. Bahwa kubertanggungjawab atas tas yang kubawa kini. Kurenggangkan jariku, kudekap erat-erat dengan kedua belah tanganku. Dan orang itupun melangkah kian maju. Seklebatan mataku menangkap pemandangan yang begitu tak asing. Ya, kereta ini tengah melintas didepan SMANISDA. Sudahkah teman sekelasku memenuhi bangku X8 ?
1,2,3,....10 palang kereta yang dilampaui oleh kereta ini. Dengan beberapa pasang mata yang memadati kedua sisi palangnya. Beberapa kali kereta ini menghampiri calon penumpang di beberapa stasiun lintas kota. Dan kenampakan ini yang mengganggu. Ternyata, kereta ini berada dibalik pemukiman kumuh nan padat penduduk dan tak terjamah manusia berdasi. Aku tak berlama-lama memang menyaksikannya. Tiba-tiba seorang bocah lelaki berseragam merah-putih melangkah seribu kaki mengejar kereta yang melaju kian lambat dan akhirnya benar-benar berhenti.
Ya, Allah ! Hidup ku jauh beruntung. Di usiaku yang masih mengisi bangku SMA ini, seringkali aku merengek-rengek pada Bapakku untuk mengatarku kesekolah bila jalanan sudah ramai. Tak perlu berlari-lari seperti itu apalagi mengejar yang bukan tandingannya.
1 jam dalam gerbong ini, ku telah mempelajari makna hidup. Memang aku hanya bisa meliuk-liukkan kelopak mataku ditengah kesesakan ini. Tak bisa seperti orang Jepang yang sambil membaca buku. 2 belia disamping kiriku tiba-tiba bangkit dari duduknya. Rupanya mereka mempersilakan seorang tua untuk menghempaskan pantatnya dan menyandarkan punggung di bangku kereta. Lewat Stasiun Wonokromo, bangku kereta mulai renggang dan ini giliran aku, Via, dan Ully yang menikmati kenyamanan bangku itu. Malangnya, kereta itu bak sekejap berhenti didepan lajur-lajur stasiun Gubeng. Dan kami pun dengan hati-hati turun dari kereta.
Sepeninggal Stasiun ini, kami harus berjalan kaki kira-kira 500 meter untuk sampai diujung jalan karena ini pun bukan jalur angkutan umum. Dari ujung jalan itu, kami kiranya perlu menghitung berapa panjang RSU Dr. Soetomo dengan langkah kami. Rupanya, UNAIR itu bersembunyi disebelahnya yang hanya bersekat dengan sebuah jalan besar.
Inilah calon kampusku nanti. Mungkin sekarang ini aku merasa asing. Tetapi tidak untuk 2 tahun kedepan. Karena ini tempat belajarku selepas SMAN 1 SIDOARJO. Pertamanya kami menuju rumah Allah. Memanjatkan Ridho dan berharap kelancaran untuk hari ini. Setelah registrasi, kami menuju kantin FISIP. Alangkah terkejutnya, begitu mata ini menangkap puing-puing kayu tercecer disana. Bangunannya terlihat jauh lebih menyeramkan dari rumah Moza. 50% terlihat membekas sebuah kebakaran hebat. Jendelanya nyaris mengarang, sementara atapnya mengelupas hitam.
Pukul 08.00 kami sudah berada di ruang aula kembali. Sempat teringat, mungkinkah X8 sedang bergelut dengan asyiknya kimia bersama Bu Fin ? atau tertawa geli mendengarkan Bu Ruci yang super nggemesin itu. Aku semakin tak rela saja. Balaukah, 100rb sudah terlanjur melayang demi mencicipi UNAIR tanggal ini.
Singkatnya, dewan juri menempat namaku pada urutan ke-20 di daftar nilainya. Itu berarti aku kehilangan kesempatan untuk berlaga lagi di Babak Semi Final yang hanya menampung 15 orang saja. Tak ubahnya dengan Via, Ully, dan Riska. Mas Aziz, Precident of Efos yang mendampingi kami terlihat kecewa. Tak biasanya, SMANISDA gugur sebelum semifinal. Biasanya, dalam sekali bergelut, 2-3 piala pun berhasil diboyong.
Jalan kaki lagi. Begitulah nasib kami ketika itu. Ditengah panas matahari yang menjilat-jilat, rasanya kita tak sanggup jalan ke Stasiun Gubeng. Dasar anak Nyleneh, adat lama “NGAKAK GJ” nggak ketinggalan. Tetapi, betapapun canda kami, itu nggak berasa karena X8 jauh lebih heboh dalam hal tawa. Itu yang nggak pernah tergantikan oleh apapun juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar