Pilar yang menompang roda mobil-mobil kenegaraan itu adalah saksi bisu. Sejatinya ia sanggup merekam dan memutar kembali bagaimana sadisnya hidup di ibukota. Ya, pilar-pilar itu mengukir dunia kecil segelintir manusia hebat. Yang tertahan sekalipun harus bergelut renjana yang kian keras dan memanas.
Pilar-pilar ini adalah besi kehidupan. Tempat hidup manusia kuat dan tahan banting. Tampak remang-remang meski seberkas cahaya bundaran HI masih menjangkau celah-celah tak ubahnya lorong waktu yang terus bergulir. Mereka tampak nyaman tanpa rumah gedongan di pondok indah. Karena mereka punya cukup tenaga untuk menggatung di pintu air, dibawah pilar-pilar ini. Dan mereka tak sekalipun ingin bertandang dihadapan kursi kepresidenan untuk sebuah pengakuan yang nyata.
Bahkan ketika kawanana mahasiswa berseru “Presiden ingin dinaikkan gajinya”. Mereka tak sedikitpun ingin terhenyak. Hati tulusnya menjaga traffic light sebagai sebuah urgensi, justru seringkali dipersalahkan. Ya inilah yang mereka bisa. Tak perlulah harus dikejar-kejar apalagi sampai ke tempat perhelatannya di bawah pilar-pilar itu.
Memang kalau mereka tertangkap mau diapakan, mau diungsikan supaya pilar-pilar itu tak dihuni lagi ? Mau diberantas supaya tidak mengganggu pemandangan bundaran HI ketika duta besar hendak berkunjung ke istana negara ? Dan yang terpenting supaya ibukota tampak tertib dan bergelora tanpa kehadiran mereka ????
Untuk apa sich negeri ini ditertibkan dari kehadiran mereka, kalau roda pemerintahan tetap tak beralur ? Tikus-tikus dalam lembaga pemerintahan sendiri yang menggerogoti saja dipelihara, tetapi mengapa mereka yang sekedar ingin tetap tinggal dibawah pilar tak diberi kesempatan ? Ibukota seperti ini kan karena ulah tikus-tikus itu, memakan hak manusia hebat supaya terhempas di pilar-pilar yang kian usang dan rapuh.
Mereka terus dicecar rasa tertekan tanpa membuncahkan sedikitpun dosa untuk negeri ini. Sementara manusia hebat yang gadungan itu, mengubah jeruji besi menjadi hotel berbintang. Memang, hukum sudah dikatongi oleh orang kapital.
Sebentar kemudian, pilar-pilar itu bergetar. Truck tronton yang memuat baja ke Cilegon sedang menderu. Tak kurang dari sepekan, pilar itu ambruk. Seorang yang mengaku jihad telah melemparkan bom. Suasana begitu riuh. Tetapi, disini amat sunyi. Kehidupan di bawah pilar tak berdenyut lagi. Pintu air berwarna merah. Manusia hebat itu tengah mengapung. Perlahan tetapi pasti, mereka raib terbawa air. Menjauh, menjauh, dan menjauh hingga akhirnya benar-benar jauh dari pilar “KOLONG JEMBATAN” tempat mereka hidup.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar