Jumat, 15 April 2011

#Latepost BUAYA KESAYANGAN MOZA

Lepas ulangan, kelasku dilanda dilematis, betapapun mereka berusaha untuk menutup muka agar tak tersirat. Tetapi senyum mereka seolah dipaksakan, bahwa mereka tak bisa bohong kalau mereka patah hati karena matematika. Ceritanya, kita hendak bertandang ke rumah moza. Ya..acaranya GJ bangetss sich ! cuma sekedar ritual makan-makan. Tentunya dengan merogoh kocek yang nggak sedikit. Pokok’e ada modal ‘BUDHAL’. .
Beberapa patung hindu-buddha dan power ranges bersiaga menyambut kedatangan kami. Entah aku yang aneh, atau auranya yang terlalu silu. Manakala aku menilik, wah ! parah pokok’e. Aku ingin mengurungkan ajakan temanku untuk benar-benar mengulik ‘gimana sich moza 2h ?’. tetapi semakin aku menepis rasa ini, semakin ketakutan ini menggulingkan keberanianku. Dan aku terlihat aneh direngkuhnya. Lebih nyleneh bahkan, ketika pandanganku menangkap seekor buaya melintang ditengah sekat kawat. “hadoow,, moza ini. Anak kayak gitu peliharaan’e kayak gitu”, pikirku yang harus kubungkam selalu. Masa bodoh aku dengan buayanya, ya..walaupun buaya itu dengan tatapan tajam menusuk mataku. Singkatnya, kami mulai menggelar aneka pengisi perut dilantai. Ketika sebuah lukisan keluarga yang jauh sebelum kami lahir sudah nimbruk di dinding rumahnya moza. Lukisan itu semakin menambah kesan ngeri. Wow ! itu belum cukup. Beberapa tanduk rusa turut nggantung di dinding mungil itu. Galery art banget dech pokoknya. Aku tak tahan bejibaku dengan kondisi seperti itu. Kondisi ini terlalu mencekam persis film rumah darah yang pernah kusaksikan dengan teman sekelasku. Disela-sela makanan yang menyumpal mulutku, Sesekali kulihat tatapan kosong moza yang begitu tajamnya kearah sudut-sudut tempat tinggalnya. Persis 1 jam kita berkelut dengan keseharian moza, mati gaya, pekh !! seakan retorika hengkang dari potret hidupku karena catatan buram ini. Kita beranjak dari rumah itu dan kayaknya nggak akan kembali lagi. Dan kita benar-benar berjanji untuk itu. Ini 1 untuk yang terakhir kalinya. Ya..tapi betapapun kita berada dalam kondisi rentan kita nggak lupa adat. Foto sana-sini, jepret dari segala sudut pandang dengan senyum manyun penuh kenarsisan. Sorry2 aja, untuk yang satu ini kita nggak akan pernah mati gaya.
Akhirnya, udara segar bisa kembali kuhirup. Serasa baru keluar dari...ehm dari apa yaa?? Pokok’e dari itu_lah. Dari sini, aku bisa ambil sedikit kesimpulan bodoh, “akankah moza kayak gitu karena kondisinya yang terlalu sunyi..??” aku tersirat dari lamunan itu ketika suara temanku menggema mengusik kegalauan dalam otakku “ayoo, Tan ! pulang nggak ?”. dan aku benar-benar menangkisnya, biarlah moza saja yang tahu. Karena aku tak berhak untuk tahu.
Sampai rumah, kulempar tasku sekuat-kuatnya. Tak sanggup rasanya aku memanggulnya lagi. Apalagi kakiku yang rasanya begitu “TEPAR”, hehe habis lari 10 putaran wah !!! Wait for ??? kujatuhkan badanku yang begitu ingin terkulai di kasur yang empuk. Berusaha menghapus ketakutan yang masih tersisa dalam benakku. Tetapi itu begitu sulit. Moza terlalu hambar. Jauh bertolak belakang dengan apa yang kulihat disana. Kupejamkan mataku, menunggu saat maghrib tiba. Tentunya berangan dalam tidurku nilai 100 untuk matematika dan fisika (yang semoga akan jadi kenyataan).
Tuhan, semoga nafasku esok hari bisa lebih bergelora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar