Minggu, 17 April 2011

Misteri dalam Kesunyiannya

5 Februari 2011
Kebodohan yang kembali aku lakukan. Lamban, lemah ketika keadaan teramat genting dan kian memperentan posisisku. Aku tak bisa memungkirinya, membiarkan seorang yang amat dekat denganku berkelit dalam kebingungan dengan masa bodohnya. Padahal, ketika aku yang begulat dengan bahasa jepang, simpatinya tak sedikitpun kurasakan nyaman. Akhirnya, kuberikan sedikit ilmuku padanya. Berharap tuhan akan membalaskan untukku, walau aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Beberapa rumus mulai ia goreskan tentunya sesuai dengan guman kedua bibirku, walau ia tak sedikitpun mengerti apa yang ia poleskan pada kertas ulangannya.
Lepas ulangan, kelasku dilanda dilematis, betapapun mereka berusaha untuk menutup muka agar tak tersirat. Tetapi senyum mereka seolah dipaksakan, bahwa mereka tak bisa bohong kalau mereka patah hati karena matematika. Ceritanya, kita hendak bertandang ke rumah Zora. Ya..acaranya GJ bangetss sich ! cuma sekedar ritual makan-makan. Tentunya dengan merogoh kocek yang nggak sedikit. Pokoknya ada modal ‘BUDHAL’.
Beberapa patung hindu-buddha bersiaga menyambut kedatangan kami. Entah aku yang aneh, atau auranya yang terlalu silu. Manakala aku menilik, wah ! parah pokoknya. Aku ingin mengurungkan ajakan temanku untuk benar-benar mengulik ‘gimana sich Zora itu ?’ Tetapi semakin aku menepis rasa ini, semakin ketakutan ini menggulingkan keberanianku. Dan aku terlihat aneh direngkuhnya. Lebih nyleneh bahkan, ketika pandanganku menangkap seekor buaya melintang ditengah sekat kawat. “hadoow,, Zora ini. Anak kayak gitu peliharaannya kayak gitu”, pikirku yang harus kubungkam selalu. Masa bodoh aku dengan buayanya, ya..walaupun buaya itu dengan tatapan tajam menikam mataku. Singkatnya, kami mulai menggelar aneka pengisi perut dilantai. Ketika sebuah lukisan keluarga yang jauh sebelum kami lahir sudah nimbruk di dinding rumahnya Zora. Lukisan itu semakin menambah kesan ngeri. Wow ! itu belum cukup. Beberapa tanduk rusa turut nggantung di dinding mungil itu. Galery art banget dech pokoknya. Aku tak tahan bejibaku dengan kondisi seperti itu. Kondisi ini terlalu mencekam persis Film Rumah Darah yang pernah kusaksikan dengan teman sekelasku. Disela-sela makanan yang menyumpal mulutku, Sesekali kulihat tatapan kosong Zora yang begitu tajamnya kearah sudut-sudut tempat tinggalnya. Persis 1 jam kita berkelut dengan keseharian Zora, mati gaya, pekh !! seakan retorika hengkang dari potret hidupku karena catatan buram ini. Kita beranjak dari rumah itu dan kayaknya nggak akan kembali lagi. Dan kita benar-benar berjanji untuk itu. Ini 1 untuk yang terakhir kalinya. Ya..tapi betapapun kita berada dalam kondisi rentan kita nggak lupa adat. Foto sana-sini, jepret dari segala sudut pandang dengan senyum manyun penuh kenarsisan. Sorry aja, untuk yang satu ini kita nggak akan pernah mati gaya.
Akhirnya, udara segar bisa kembali kuhirup. Serasa baru keluar dari...ehm dari apa yaa?? Pokoknya dari itulah. Dari sini, aku bisa ambil sedikit kesimpulan bodoh, “akankah Zora kayak gitu karena kondisinya yang terlalu sunyi..??” aku tersentak dari lamunan itu ketika suara temanku menggema mengusik kegalauan dalam otakku “ayoo, Tan ! pulang nggak ?”. dan aku benar-benar menangkisnya, biarlah Zora saja yang tahu. Karena aku tak berhak untuk tahu.
Sampai rumah, kulempar tasku sekuat-kuatnya. Tak sanggup rasanya aku memanggulnya lagi. Apalagi kakiku yang rasanya begitu “TEPAR”, hehe habis lari 10 putaran wah !!! Wait for ??? kujatuhkan badanku yang begitu ingin terkulai di kasur yang empuk. Berusaha menghapus ketakutan yang masih tersisa dalam benakku. Tetapi itu begitu sulit. Zora terlalu hambar. Jauh bertolak belakang dengan apa yang kulihat disana. Kupejamkan mataku, menunggu saat maghrib tiba. Tentunya berangan dalam tidurku “Tuhan, semoga nafasku esok hari bisa lebih bergelora.”
Beberapa hari setelah itu, aku dibayang-bayangi ketakutan. Setiap hari kutatap mata Zora yang begitu redup nan ahhh, sungguh terasa runcing hingga aku sebenarnya enggan menatapnya lagi. Tetapi, dia teman sekelasku. Betapapun aku berusaha menghindar, itu takkan bisa. Zora, ia hebat bangetzz. Ia bisa mengeksekusi konsentrasiku, hingga aku tak bisa memegang sebilah pisau untuk memotong mentimun di rumahnya. Malu aku dibuatnya, dihadapan beberapa pasang mata temanku. Aku tak mau terus begini.
Sementara temanku, mulai bosan mengurus Zora. Mereka berusaha membuat Zora tertawa, tetapi apaa,, mereka sudah “CEGEK” duluan. Haha... lucu banget !!!
Satu per satu temanku yang terkenal gigih ngakak dengan PDnya mencoba duduk sebangku dengan Zora. Berharap Zora itu nggak lunak kayak gitu, tetapi ikut berkecimpung dalam dunia tawa. Bagaimana hasilnya ??? NIHIL. Jangankan tertawa, ngomong sama Zora itu katanya perlu kesabaran, bahkan mereka terkesan nge-freez.
“greeak”. Pintu kelas terbuka, sesosok siswa masuk dengan membawa segelas jus Tantingannya. Semua mata tertuju kearah pintu, air liurnya menggeliat. Menyaksikan betapa nikmat Bu Elvi mencicipi jus tersebut. Seorang siswa berceloteh, “Zora mana?”. Aku sangat hafal suara itu. Itu tadi Lia. Matanya melotot, mencari-cari Zora ditengah rerimbunan kursi-kursi. Kali ini, hampir semua siswa duduk dibawah. Kita menghempaskan badan kami disela-sela bangku. Berbeda dengan Zora, dia memilih tempat yang tak mudah terjangkau oleh mata. Hyya...dia dibawah meja. Hal yang mengejutkan manusia-manusia didekatku, ketika Lia kembali berceloteh, “He, rekk ! Zora lho nangis”. Sontak Yuan memutar lehernya, berusaha melihat Zora, tetapi tak bisa juga. Zora berada di ruang yang terlalu gelap. Melalui celah-celah kecil kujumpai pipi Zora berpeluh. Ini bukan peluh biasa. Peluh itu berasal dari kelopak matanya yang kian sayup-sayup. Berusaha untuk bertanya, tapi Zora juga terkesan enggan menjawab. Awalnya aku meresa gusar. Tetapi, 1 kalimat yang begitu menyentuhku, “Aku nggak apa-apa koq. Kamu jangan tanya-tanya, karena ku nggak suka itu. Aku biasa menangis ketika ku merasa sendiri,” katanya.
Ketika istirahat, Aku, Tanti, Lia, dan Zora bercengkrama kecil. “Zor, kamu itu nggak bisa ta biasa aja ? kamu itu kenapa, sich ?” kata Lia tiba-tiba. Dia tanpa basa-basi berkata demikian, jelas aja Zora menimpali “nggak ada apa-apa koq.” Lia yang paling gencar menginterogasi Zora tentang something, tapi Zora tetap aja nggak buka mulut. Sedikit secret, “ada mata-mata di kelas kita. Dia selalu melongok di jendela. Itu sebabnya aku sesekali buka jendela. Tapi terkadang dia memata-matai dari dalam,” kata Zora tiba-tiba. Aku sudah pernah dengar tentang ini dari Riza. Aura mistis mulai merambah alam bawah sadarku, ketika Lia melontarkan pertanyaannya lagi “Yang mata-mata’in orang atau bukan ? Kita bisa liat dia nggak ? kamu punya teman khayalan? Kenapa kamu suka ngomong sendiri ?” tanya Lia rentetan. 1 per 1 Zora menjawabnya, “yang mata-mata’in kelas kita orang, kalian bisa liat koq. Aku nggak pernah punya teman khayalan, dan yang kamu liat itu aku sedang ngomong dengan seseorang yang kalianpun bisa melihat sosoknya.” Aku berusaha mngalihkan pembicaraan ini, karena parno banget. Tapi mereka sudah dalam tahap yag lebih serius. Zora nggak mau share ke kita, karena ada seseorang yng melarangnya. Bahkan keluarganya nggak tahu. 1 pertanyaanku padanya, who’s she aim ?
9 April 2011
“Aku pernah di sms sama Zora, Tan ! Gila panjang banget smsnya. Intinya Dia merasa jauh dari Allah dan sedikit atheis juga. Imanya mulai goyah karena seorang yang kian berpengaruh dalam hidupnya. Tapi yang jelas dia bukan orang tuanya. Melainkan seorang yang pernah bilang ‘I LOVE YOU’ ke Zora,” tutur Riza panjang lebar. Aku menyeringai sambil mengernyitkan keningku. Aku semakin bingung mencerna kata-kata ini. Ada sedikit rasa percaya dalam benakku tentang kata-kata Riza. Sebentar kemudian dia berkata lagi “2 hari yang lalu, anak Bali itu meneleponku. Tapi yang ngangkat adikku. Orangnya ngomong panjang lebar, tapi adikku diam aja. Dari logatnya dia beneran anak Bali, Tan !”
Kata-kata Riza ku telan mentah-mentah. Sungguh tak bisa dinalar. Kehidupan Zora begitu aneh, tanpa 1 misteripun terkuak.
Dikolam renang, masih dalam hari yang sama. “siapa sich, Zor dia ?” kusisipkan pertanyaanku yang apabila dijawab BINGO. Dia rupanya mengerti pertanyaanku yang begitu singkat. “Dia yang sering telepon kamu.” jawabnya setelah terdiam beberapa saat. “Gede ?” yang dari bali itu ?” tanyaku shock sambil melotot. “Iya. Sebenarnya namanya bukan Gede. Dia nggak dari bali koq. Dia dulu sekelas sama aku di SMP. Sekarang dia masih di Sidoarjo. Dan dia cuma bohong sama kamu,” kilahnya panjang lebar setelah berusaha mengelak beberapa kali. Nggak masalah aku dibohongi sama orang yang nggak ku kenal. “jadi dia yang amat berpengaruh sama kamu. Bahkan lebih dari Tuhan. Kalau dia dulu sekelas sama Zora, berarti Riza kenal donk,” pikirku.
Seminggu kemudian, ada seorang perukhyah berkunjung kekelasku. Atas permintaan walikelasku, Zora pasien rukhyah dari X8. Setengah jam kemudian, Zora tak bergeming. Dia jatuh tersungkur di lantai.
“Dia ini bukan teman anda. Sukma dalam raga yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya ini adalah seorang wanita Bali yang sengaja singgah. Sekitar lebih dari 1 tahun pemilik raga ini raib,” kata perukhyah itu.
“Dan dunia anda, berbeda dengan dunia makhluk ini,” katanya kemudian.
Aku lantas terhenyak dari pandangan kosong, ketika tawa yang begitu menggelitik mulai menggerayangiku. Aku baru saja tersadar bahwa aku berada jauh dari lingkungan orang normal. Raga yang selama ini kukenal sebagai Zora saat ini ada didepan mataku. Sudah lewat dari sepekan dia berada disini. Orangtuanya sendiri yang menempatkannya, mungkin mereka merasa takut sebab belakangan gadis ini dapat melihat kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar