Selasa, 19 April 2011

MENANTI DALAM SEPI

Sejak usianya memasuki hari ke 730, ibunya sontak mempercayakannya pada seorang yang dirasa amat menyayanginya. Gadis kecil itu tampaknya tak protes sedikitpun. Ia tak pernah rewel apalagi sampai menangis seperti bayi kebanyakan. Orang bilang ia cukup tegar, walaupun orangtuanya menomorduakannya. Ia mungkin cukup memahami, orangtuanya seperti itu untuk dia juga, putri semata wayang. Pun gadis kecil itu mengalami kehidupan yang sangat berbeda dengan hari-hari sebelum itu, ia tinggal di rumah reyot nan jauh dari kediamannya. Bersama kasih sayang Bu Rukh, begitu wanita tua itu biasa disapa.
Tak lama sepeninggalnya dari rumah gedongnya, gadis kecil itu mengidap radang akut. Menurut analogi dokter, ia alergi debu. Bu Rukh cukup menyadari. Rumah reyotnya, berada di pinggir jalan besar dan di areal perisdustrian. Setiap harinya, truk datang dan pergi. Menebar asap knalpot yang sungguh mengepul. Berbeda dengan rumah Gycel di kompleks elite. Gedung bertingkat nan mewah itu tak sebijipun terjangkau debu.
Dari hal inipun, Ibunya terutama tetap gencar mehempaskan putriya disini. Belakangan Gycel kecil kerap bermalam. Bahkan sampai 3 hari tak disambangi Ibunya pun pernah. “Orang tua macam apa ?” kata orang di kanan-kiri gubuk wanita renta itu. Sebenarnya sesibuk apa, sich orangtua biologis Gycel ? Ayahnya hanya seorang kontraktor di Surabaya, sementara Ibunya dosen Kedokteran Unair . Setiap hari juga pulang, kan ?
5 tahun berlalu sejak proses penitipan anak ini bermula. Sekarang Gycel sudah duduk dibangku Sekolah Dasar. Dia cukup pandai, baik, dan alim. Bu Rukh yang mengajarkannya cara berjilbab. Bu Rukh begitu mendambakan kehadiran seorang putri, tetapi rupanya Tuhan tak pernah menghendaki karena ketiga anaknya seorang laki-laki yang tak mudah diatur. Cukup makan hati ia dengan semua ini. Tetapi Gycel menjadi lampu pijar yang mendobrak semangatnya untuk tetap hidup menahan nestapa ini.
Gycel kecil itu tak lagi menjadi anak ingusan yang mudah dibuali oleh realita kehidupan. Ia mulai bertanya dimana orangtuanya. Sebab terakhir kali Ayah dan Ibunya datang menengoknya ketika ia lepas dari taman kanak-kanak setahun lalu. Bukan masalah Financial. Setiap minggu, orangtuanya meweselkan pesangon untuk biaya hidupnya beserta 5 anggota keluarga Bu Rukh yang menyandang status pengangguran.
“Gycel nggak kangen sama Ibu dan Ayah ?” kata ibunya sesekali bila menelepon.
“Kangen banget. Ayah dan Ibu kapan pulang ?” tanyanya.
“Sebentar lagi, sayang ! Nanti kalau Ibu dan Ayah sudah punya uang banyak kita pasti jemput Gycel. Tinggal dirumah sama-sama, ya ?” katanya dari seberang lagi.
3 tahun terlewati sejak dialog haru itu, orangtuanya tak kunjung datang. Dan Bu Rukh pun sudah terlanjur dimakan usia karena diabetes yang menggerogoti tubuhnya. Hidup Gycel kian sengsara. Uang pengiriman orangtuanya dipakai lelaki setengah baya untuk berjudi. Bahkan karena desakan si putra sulung, ia seringkali menelepon ibunya untuk meminta uang tambahan. Gycel mulai pandai berbohonh tentang perekonomian keluarga asuhnya yang kian sarat. Mula-mula ia bilang untuk membeli buku, biaya insidental naik, sampai uang ujian. Padahal, kenyataannya sekolah negeri tak pernah memungut uang ujian.
Waktu bergulir begitu cepatnya, dan Gycel kecil tumbuh menjadi belia yang berpendidikan. Ia kuliah ditempat kerja ibunya dulu, Universitas Airlangga. Namun ibunya sudah pindah tugas menjadi rektor UI. Gycel sudah terlepas dari rumah reyot di pinggir jalan besar itu. Ia mulai berani tinggal sendiri dirumah orangtua kandungnya dikawasan Ketintang Raya. Dan orangtuanya, semakin mudah untuk berkomunikasi.
7 tahun berikutnya, ia masih berkutat dalam kesendirian. Kesuksesan yang ia rengkuh tak dinikmatinya bersama keluarga. Tetapi, ia bisa berbangga hati. Rumahnya mulai ramai dikunjungi pasien. Ya, ia menjadi dokter muda besar. Namanya melejit sampai ke mancanegara, melalui penemuan vaksin yang belakangan beredar di Apotek Jakarta. Puan Aditya Grace Cella, tak satupun yang tidak tahu. Begitupun Aditya Missa Paty dan Dyandhra Puan Nagara yang saat ini pun sudah beralih kebangsaan. Keduanya tak lagi menjadi kontraktor dan rektor. Jabatan di White House sudah digenggamnya.
22 Desember 2002, ketika makhluk dunia memperingati hari bersejarah atas ibu kandungnya. Gycel meregang nyawa dalam kesendirian. Otak kanannya mengalami penyumbatan. Daya ingatnya tak sedikitpun beroperasi, bahkan untuk sekedar mengingat wajah 1 atau 2 koleganya yang setiap hari ia jumpai dirumah sakit tempat ia praktek.
Tepat dini hari pukul 00.02, belia itu raib dari dunia dalam usia yang masih sangat muda. 25 tahun. Gadis yang menghabiskan 2 tahun pertama dalam hidupnya dengan 2 orang yang amat dicintainya itu, sampai hayatnya pun tetap dalam kesendirian.
7 hari berikutnya, 2 orang petinggi AS datang melayat ke kediaman Gycel. Para tetangga terheran-heran, beberapa sesepuh setempat masih mengingatnya sebagai penduduk yang sempat tinggal 17 tahun silam. “Dasar orangtua tak tahu diri. Tega kalian membiarkan gadis ini menanti. Terdiam dalam sepi hingga akhirnya melewati batas hidupnya sebelum mencapai akhir penantian itu,” begitu kata sesepuh itu.
Semua orang yang hadir lantas tercengang. Menyaksikan petinggi AS yang ada dihadapan mereka adalah orangtua dari mayat yang mereka lempari dengan tanah merah kemarin sore. Dalam baka mungkin Gycel meratap. Menyaksikan wajah terakhir orangtuanya ketika beranjak dari bangku Taman Kanak-Kanak dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar