Ah, bodo banget. Itu dunia mereka. Menilik dari dunia mereka, sampai larut malampun aku belum juga packing untuk tour besok. Ya walaupun cuma ke Malang, tapi ini pengalaman sekali seumur hidup juga sebagai pelepasan Teeneigers−sebutan baru untuk kelasku.Rasanya belum pas perjalanan ini kalau aku tak membawa serta seuntai headset. Sialnya, menjelang detik-detik keberangkatan entah kenapa headsetku mati sebelah. Padahal sudah kubayangkan gimana asyiknya mendengarkan lagunya JB during trip.
Senin, 27 Juni 2011
Sebuah bus besar sudah stand by didepan smanisda mungkin jauh sebelum aku tiba.
“Wuiih, Intan Bieber,” teriak beberapa temanku hampir bersamaan.
Aku tersenyum kecut pada mereka mengingat beberapa hari lalu account FB ku sempat nonaktif karena username ku berubah. 15 menit, 30 menit, keberangkatan mundur. Menanti seorang yang amat spektakuler, −mOzA−. Hampir dari ¾ temanku keluar bis, berdiri cemberut sambil melipat tanggannya. Ada juga yang menyambungkan tangannya kepinggang. Sekilas dari balik jembatan layang banyak kendaraan melaju, tapi terlihat jelas satu diantaranya.
“Itu moza....” celetuk Almira seolah mengaba-aba. Telunjuknya meliuk sampai sang putri moza turun dari boncengan mamanya tepat didepan matanya.
Suasana didalam bus sedikit gaduh, dan tak perlu diceritakan. Singkatnya begitu kami sampai di Jatim Park 2 kami sempat mengabadikan beberapa foto sekelas. Rafinda dan Dina bergantian menjepretnya. Lumayan lama lah kita muter-muter cuci mata ngliat’in satwa-satwa langka, sekarang waktunya back to bus.
“Eh...moza mana ??” mata annisa terbelalak.
Anak itu berjalan entah kemana, barusan dia mengekori kita tapi sekejam begit kita sudah berada di pintu keluar dia nggak ada. Malangnya kita nunggu moza sampai sekitar 15 menit. Dan “Blaaa” dia keluar gift shop dengan muka innocent.
“Astaga,....celananya jauh MELOROT dan sebentar lagi pasti jatuh” bisik endah.
“Hiii hiii” aku tertawa kecil melihat anak itu yang sama sekali tidak merasa.
Malam ini, akan sangat rawan kalau moza hilang lagi. Mula-mula dia mengikuti aku dan arofah naik wahana kursi terbang.Tinggi dan ngeri berputar-putar diatas kepala orang. bahkan tak jarang yang menjerit. Selepas ini, aku dan arofah menghabiskan sisa durasi di rumah lampion. Setidaknya sampai pukul 23.00. Yheee ! moza beralih mengikuti Dita dkk. dan lagi-lagi yang mengesalkan, semua siswa baik cewek maupun cowok sudah bersiap menuju bus. Avan mulai berhitung komat-kamit 1,3,5,10,....uhm kok cuma 26, katanya. Moza hilang lagi.
“Uhh, anak ini mau tak borgol. Ilang sampai yang keduakalinya. nggak kebayang besok di Jatim Park 1,” keluh annnisa.
Tak kurang dari 10 menit selanjutnya ia menampakkan batang hidungnya.
Tujuan utama nyoba’in sensasinya rumah hantu. Mengantisipasi hilangnya moza, kita ber-27 jalan bareng.
“Eh, asyik tuh naik itu” salah seorang dari kami bersua.
Setelah tunggu-tunggu’an, rencananya kami mau ngantri di keraton misteri. Yah yang mau aja, sih ! Aku kebagian baris nomor dua dari belakang, paling belakang moza. Tiba-tiba fauqi menoleh
“masuknya 6 anak. Terakhir aku, nggak tau boleh nggak kalau 7.”
Aku mengernyitkan keningku, bergegas balik sebelum ada orang dibelakang moza. tapi sebegitu inginnya dia mencoba adrenalin diwahana ini hingga ia menghalangi jalanku. Tak hanya itu, di menarik tanganku supaya aku nggak balik.
Dan,....moza berhasil mengurungkan niatku untuk balik setelah datangnya segerombolan barisn setelah moza. Alhasil, Yan mundur kebelakang moza. Mendekati pintu masuk justrumoza yang terlihat takut. Dia mengajakku untuk mundur tapi nggak mungkin juga. Akan terasa sarat melewati banyak orang apalagi kita sudah berdiri dimulut pintu. Moza ragu-ragu menjawab introgasi fauqi, ia secara terang-terangan mengalihkannya ke aku.
Kesannya, dilorong itu nggak begitu gelap. Seseorang yang pernah dua kali menggandengku tanpa sengaja menggantikannku diposisi baris paling belakang. Dia membawa senter HP. 4 teman sudah jauh beberapa langkah didepanku. Tapi orang dibelakangku ini merangkulkan tangannya dibahuku, hingga kami tertinggal dibelakang sampai sebuah belokan yang jauh lebih gelap.
“Tan, nggak usah takut. Aku selalu dibelakangmu,” begitu katanya.
Ditengah perjalanan kami menyusuri lorong mirip labirin itu, akhirnya langkahku sejajar dengannya. Sebuah lemari tua tiba-tiba terbuka dan reflek, aku menggenggam pergelangannya dengan erat.
“Eh, maaf aku nggak sengaja,” kataku.
“Nggak apa-apa”
Mendekati pintu keluar, temanku berlarian menahan ketakutan, sementara aku dan orang dibelakanku itu masih tertinggal jauh dari langkah mereka.
“Thanks, ya” ucapku. Dan dia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar