Jumat, 22 April 2011

DUNIA KECIL DALAM LORONG WAKTU

Pilar yang menompang roda mobil-mobil kenegaraan itu adalah saksi bisu. Sejatinya ia sanggup merekam dan memutar kembali bagaimana sadisnya hidup di ibukota. Ya, pilar-pilar itu mengukir dunia kecil segelintir manusia hebat. Yang tertahan sekalipun harus bergelut renjana yang kian keras dan memanas.
Pilar-pilar ini adalah besi kehidupan. Tempat hidup manusia kuat dan tahan banting. Tampak remang-remang meski seberkas cahaya bundaran HI masih menjangkau celah-celah tak ubahnya lorong waktu yang terus bergulir. Mereka tampak nyaman tanpa rumah gedongan di pondok indah. Karena mereka punya cukup tenaga untuk menggatung di pintu air, dibawah pilar-pilar ini. Dan mereka tak sekalipun ingin bertandang dihadapan kursi kepresidenan untuk sebuah pengakuan yang nyata.
Bahkan ketika kawanana mahasiswa berseru “Presiden ingin dinaikkan gajinya”. Mereka tak sedikitpun ingin terhenyak. Hati tulusnya menjaga traffic light sebagai sebuah urgensi, justru seringkali dipersalahkan. Ya inilah yang mereka bisa. Tak perlulah harus dikejar-kejar apalagi sampai ke tempat perhelatannya di bawah pilar-pilar itu.
Memang kalau mereka tertangkap mau diapakan, mau diungsikan supaya pilar-pilar itu tak dihuni lagi ? Mau diberantas supaya tidak mengganggu pemandangan bundaran HI ketika duta besar hendak berkunjung ke istana negara ? Dan yang terpenting supaya ibukota tampak tertib dan bergelora tanpa kehadiran mereka ????
Untuk apa sich negeri ini ditertibkan dari kehadiran mereka, kalau roda pemerintahan tetap tak beralur ? Tikus-tikus dalam lembaga pemerintahan sendiri yang menggerogoti saja dipelihara, tetapi mengapa mereka yang sekedar ingin tetap tinggal dibawah pilar tak diberi kesempatan ? Ibukota seperti ini kan karena ulah tikus-tikus itu, memakan hak manusia hebat supaya terhempas di pilar-pilar yang kian usang dan rapuh.
Mereka terus dicecar rasa tertekan tanpa membuncahkan sedikitpun dosa untuk negeri ini. Sementara manusia hebat yang gadungan itu, mengubah jeruji besi menjadi hotel berbintang. Memang, hukum sudah dikatongi oleh orang kapital.
Sebentar kemudian, pilar-pilar itu bergetar. Truck tronton yang memuat baja ke Cilegon sedang menderu. Tak kurang dari sepekan, pilar itu ambruk. Seorang yang mengaku jihad telah melemparkan bom. Suasana begitu riuh. Tetapi, disini amat sunyi. Kehidupan di bawah pilar tak berdenyut lagi. Pintu air berwarna merah. Manusia hebat itu tengah mengapung. Perlahan tetapi pasti, mereka raib terbawa air. Menjauh, menjauh, dan menjauh hingga akhirnya benar-benar jauh dari pilar “KOLONG JEMBATAN” tempat mereka hidup.

Selasa, 19 April 2011

MENANTI DALAM SEPI

Sejak usianya memasuki hari ke 730, ibunya sontak mempercayakannya pada seorang yang dirasa amat menyayanginya. Gadis kecil itu tampaknya tak protes sedikitpun. Ia tak pernah rewel apalagi sampai menangis seperti bayi kebanyakan. Orang bilang ia cukup tegar, walaupun orangtuanya menomorduakannya. Ia mungkin cukup memahami, orangtuanya seperti itu untuk dia juga, putri semata wayang. Pun gadis kecil itu mengalami kehidupan yang sangat berbeda dengan hari-hari sebelum itu, ia tinggal di rumah reyot nan jauh dari kediamannya. Bersama kasih sayang Bu Rukh, begitu wanita tua itu biasa disapa.
Tak lama sepeninggalnya dari rumah gedongnya, gadis kecil itu mengidap radang akut. Menurut analogi dokter, ia alergi debu. Bu Rukh cukup menyadari. Rumah reyotnya, berada di pinggir jalan besar dan di areal perisdustrian. Setiap harinya, truk datang dan pergi. Menebar asap knalpot yang sungguh mengepul. Berbeda dengan rumah Gycel di kompleks elite. Gedung bertingkat nan mewah itu tak sebijipun terjangkau debu.
Dari hal inipun, Ibunya terutama tetap gencar mehempaskan putriya disini. Belakangan Gycel kecil kerap bermalam. Bahkan sampai 3 hari tak disambangi Ibunya pun pernah. “Orang tua macam apa ?” kata orang di kanan-kiri gubuk wanita renta itu. Sebenarnya sesibuk apa, sich orangtua biologis Gycel ? Ayahnya hanya seorang kontraktor di Surabaya, sementara Ibunya dosen Kedokteran Unair . Setiap hari juga pulang, kan ?
5 tahun berlalu sejak proses penitipan anak ini bermula. Sekarang Gycel sudah duduk dibangku Sekolah Dasar. Dia cukup pandai, baik, dan alim. Bu Rukh yang mengajarkannya cara berjilbab. Bu Rukh begitu mendambakan kehadiran seorang putri, tetapi rupanya Tuhan tak pernah menghendaki karena ketiga anaknya seorang laki-laki yang tak mudah diatur. Cukup makan hati ia dengan semua ini. Tetapi Gycel menjadi lampu pijar yang mendobrak semangatnya untuk tetap hidup menahan nestapa ini.
Gycel kecil itu tak lagi menjadi anak ingusan yang mudah dibuali oleh realita kehidupan. Ia mulai bertanya dimana orangtuanya. Sebab terakhir kali Ayah dan Ibunya datang menengoknya ketika ia lepas dari taman kanak-kanak setahun lalu. Bukan masalah Financial. Setiap minggu, orangtuanya meweselkan pesangon untuk biaya hidupnya beserta 5 anggota keluarga Bu Rukh yang menyandang status pengangguran.
“Gycel nggak kangen sama Ibu dan Ayah ?” kata ibunya sesekali bila menelepon.
“Kangen banget. Ayah dan Ibu kapan pulang ?” tanyanya.
“Sebentar lagi, sayang ! Nanti kalau Ibu dan Ayah sudah punya uang banyak kita pasti jemput Gycel. Tinggal dirumah sama-sama, ya ?” katanya dari seberang lagi.
3 tahun terlewati sejak dialog haru itu, orangtuanya tak kunjung datang. Dan Bu Rukh pun sudah terlanjur dimakan usia karena diabetes yang menggerogoti tubuhnya. Hidup Gycel kian sengsara. Uang pengiriman orangtuanya dipakai lelaki setengah baya untuk berjudi. Bahkan karena desakan si putra sulung, ia seringkali menelepon ibunya untuk meminta uang tambahan. Gycel mulai pandai berbohonh tentang perekonomian keluarga asuhnya yang kian sarat. Mula-mula ia bilang untuk membeli buku, biaya insidental naik, sampai uang ujian. Padahal, kenyataannya sekolah negeri tak pernah memungut uang ujian.
Waktu bergulir begitu cepatnya, dan Gycel kecil tumbuh menjadi belia yang berpendidikan. Ia kuliah ditempat kerja ibunya dulu, Universitas Airlangga. Namun ibunya sudah pindah tugas menjadi rektor UI. Gycel sudah terlepas dari rumah reyot di pinggir jalan besar itu. Ia mulai berani tinggal sendiri dirumah orangtua kandungnya dikawasan Ketintang Raya. Dan orangtuanya, semakin mudah untuk berkomunikasi.
7 tahun berikutnya, ia masih berkutat dalam kesendirian. Kesuksesan yang ia rengkuh tak dinikmatinya bersama keluarga. Tetapi, ia bisa berbangga hati. Rumahnya mulai ramai dikunjungi pasien. Ya, ia menjadi dokter muda besar. Namanya melejit sampai ke mancanegara, melalui penemuan vaksin yang belakangan beredar di Apotek Jakarta. Puan Aditya Grace Cella, tak satupun yang tidak tahu. Begitupun Aditya Missa Paty dan Dyandhra Puan Nagara yang saat ini pun sudah beralih kebangsaan. Keduanya tak lagi menjadi kontraktor dan rektor. Jabatan di White House sudah digenggamnya.
22 Desember 2002, ketika makhluk dunia memperingati hari bersejarah atas ibu kandungnya. Gycel meregang nyawa dalam kesendirian. Otak kanannya mengalami penyumbatan. Daya ingatnya tak sedikitpun beroperasi, bahkan untuk sekedar mengingat wajah 1 atau 2 koleganya yang setiap hari ia jumpai dirumah sakit tempat ia praktek.
Tepat dini hari pukul 00.02, belia itu raib dari dunia dalam usia yang masih sangat muda. 25 tahun. Gadis yang menghabiskan 2 tahun pertama dalam hidupnya dengan 2 orang yang amat dicintainya itu, sampai hayatnya pun tetap dalam kesendirian.
7 hari berikutnya, 2 orang petinggi AS datang melayat ke kediaman Gycel. Para tetangga terheran-heran, beberapa sesepuh setempat masih mengingatnya sebagai penduduk yang sempat tinggal 17 tahun silam. “Dasar orangtua tak tahu diri. Tega kalian membiarkan gadis ini menanti. Terdiam dalam sepi hingga akhirnya melewati batas hidupnya sebelum mencapai akhir penantian itu,” begitu kata sesepuh itu.
Semua orang yang hadir lantas tercengang. Menyaksikan petinggi AS yang ada dihadapan mereka adalah orangtua dari mayat yang mereka lempari dengan tanah merah kemarin sore. Dalam baka mungkin Gycel meratap. Menyaksikan wajah terakhir orangtuanya ketika beranjak dari bangku Taman Kanak-Kanak dulu.

Minggu, 17 April 2011

Misteri dalam Kesunyiannya

5 Februari 2011
Kebodohan yang kembali aku lakukan. Lamban, lemah ketika keadaan teramat genting dan kian memperentan posisisku. Aku tak bisa memungkirinya, membiarkan seorang yang amat dekat denganku berkelit dalam kebingungan dengan masa bodohnya. Padahal, ketika aku yang begulat dengan bahasa jepang, simpatinya tak sedikitpun kurasakan nyaman. Akhirnya, kuberikan sedikit ilmuku padanya. Berharap tuhan akan membalaskan untukku, walau aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Beberapa rumus mulai ia goreskan tentunya sesuai dengan guman kedua bibirku, walau ia tak sedikitpun mengerti apa yang ia poleskan pada kertas ulangannya.
Lepas ulangan, kelasku dilanda dilematis, betapapun mereka berusaha untuk menutup muka agar tak tersirat. Tetapi senyum mereka seolah dipaksakan, bahwa mereka tak bisa bohong kalau mereka patah hati karena matematika. Ceritanya, kita hendak bertandang ke rumah Zora. Ya..acaranya GJ bangetss sich ! cuma sekedar ritual makan-makan. Tentunya dengan merogoh kocek yang nggak sedikit. Pokoknya ada modal ‘BUDHAL’.
Beberapa patung hindu-buddha bersiaga menyambut kedatangan kami. Entah aku yang aneh, atau auranya yang terlalu silu. Manakala aku menilik, wah ! parah pokoknya. Aku ingin mengurungkan ajakan temanku untuk benar-benar mengulik ‘gimana sich Zora itu ?’ Tetapi semakin aku menepis rasa ini, semakin ketakutan ini menggulingkan keberanianku. Dan aku terlihat aneh direngkuhnya. Lebih nyleneh bahkan, ketika pandanganku menangkap seekor buaya melintang ditengah sekat kawat. “hadoow,, Zora ini. Anak kayak gitu peliharaannya kayak gitu”, pikirku yang harus kubungkam selalu. Masa bodoh aku dengan buayanya, ya..walaupun buaya itu dengan tatapan tajam menikam mataku. Singkatnya, kami mulai menggelar aneka pengisi perut dilantai. Ketika sebuah lukisan keluarga yang jauh sebelum kami lahir sudah nimbruk di dinding rumahnya Zora. Lukisan itu semakin menambah kesan ngeri. Wow ! itu belum cukup. Beberapa tanduk rusa turut nggantung di dinding mungil itu. Galery art banget dech pokoknya. Aku tak tahan bejibaku dengan kondisi seperti itu. Kondisi ini terlalu mencekam persis Film Rumah Darah yang pernah kusaksikan dengan teman sekelasku. Disela-sela makanan yang menyumpal mulutku, Sesekali kulihat tatapan kosong Zora yang begitu tajamnya kearah sudut-sudut tempat tinggalnya. Persis 1 jam kita berkelut dengan keseharian Zora, mati gaya, pekh !! seakan retorika hengkang dari potret hidupku karena catatan buram ini. Kita beranjak dari rumah itu dan kayaknya nggak akan kembali lagi. Dan kita benar-benar berjanji untuk itu. Ini 1 untuk yang terakhir kalinya. Ya..tapi betapapun kita berada dalam kondisi rentan kita nggak lupa adat. Foto sana-sini, jepret dari segala sudut pandang dengan senyum manyun penuh kenarsisan. Sorry aja, untuk yang satu ini kita nggak akan pernah mati gaya.
Akhirnya, udara segar bisa kembali kuhirup. Serasa baru keluar dari...ehm dari apa yaa?? Pokoknya dari itulah. Dari sini, aku bisa ambil sedikit kesimpulan bodoh, “akankah Zora kayak gitu karena kondisinya yang terlalu sunyi..??” aku tersentak dari lamunan itu ketika suara temanku menggema mengusik kegalauan dalam otakku “ayoo, Tan ! pulang nggak ?”. dan aku benar-benar menangkisnya, biarlah Zora saja yang tahu. Karena aku tak berhak untuk tahu.
Sampai rumah, kulempar tasku sekuat-kuatnya. Tak sanggup rasanya aku memanggulnya lagi. Apalagi kakiku yang rasanya begitu “TEPAR”, hehe habis lari 10 putaran wah !!! Wait for ??? kujatuhkan badanku yang begitu ingin terkulai di kasur yang empuk. Berusaha menghapus ketakutan yang masih tersisa dalam benakku. Tetapi itu begitu sulit. Zora terlalu hambar. Jauh bertolak belakang dengan apa yang kulihat disana. Kupejamkan mataku, menunggu saat maghrib tiba. Tentunya berangan dalam tidurku “Tuhan, semoga nafasku esok hari bisa lebih bergelora.”
Beberapa hari setelah itu, aku dibayang-bayangi ketakutan. Setiap hari kutatap mata Zora yang begitu redup nan ahhh, sungguh terasa runcing hingga aku sebenarnya enggan menatapnya lagi. Tetapi, dia teman sekelasku. Betapapun aku berusaha menghindar, itu takkan bisa. Zora, ia hebat bangetzz. Ia bisa mengeksekusi konsentrasiku, hingga aku tak bisa memegang sebilah pisau untuk memotong mentimun di rumahnya. Malu aku dibuatnya, dihadapan beberapa pasang mata temanku. Aku tak mau terus begini.
Sementara temanku, mulai bosan mengurus Zora. Mereka berusaha membuat Zora tertawa, tetapi apaa,, mereka sudah “CEGEK” duluan. Haha... lucu banget !!!
Satu per satu temanku yang terkenal gigih ngakak dengan PDnya mencoba duduk sebangku dengan Zora. Berharap Zora itu nggak lunak kayak gitu, tetapi ikut berkecimpung dalam dunia tawa. Bagaimana hasilnya ??? NIHIL. Jangankan tertawa, ngomong sama Zora itu katanya perlu kesabaran, bahkan mereka terkesan nge-freez.
“greeak”. Pintu kelas terbuka, sesosok siswa masuk dengan membawa segelas jus Tantingannya. Semua mata tertuju kearah pintu, air liurnya menggeliat. Menyaksikan betapa nikmat Bu Elvi mencicipi jus tersebut. Seorang siswa berceloteh, “Zora mana?”. Aku sangat hafal suara itu. Itu tadi Lia. Matanya melotot, mencari-cari Zora ditengah rerimbunan kursi-kursi. Kali ini, hampir semua siswa duduk dibawah. Kita menghempaskan badan kami disela-sela bangku. Berbeda dengan Zora, dia memilih tempat yang tak mudah terjangkau oleh mata. Hyya...dia dibawah meja. Hal yang mengejutkan manusia-manusia didekatku, ketika Lia kembali berceloteh, “He, rekk ! Zora lho nangis”. Sontak Yuan memutar lehernya, berusaha melihat Zora, tetapi tak bisa juga. Zora berada di ruang yang terlalu gelap. Melalui celah-celah kecil kujumpai pipi Zora berpeluh. Ini bukan peluh biasa. Peluh itu berasal dari kelopak matanya yang kian sayup-sayup. Berusaha untuk bertanya, tapi Zora juga terkesan enggan menjawab. Awalnya aku meresa gusar. Tetapi, 1 kalimat yang begitu menyentuhku, “Aku nggak apa-apa koq. Kamu jangan tanya-tanya, karena ku nggak suka itu. Aku biasa menangis ketika ku merasa sendiri,” katanya.
Ketika istirahat, Aku, Tanti, Lia, dan Zora bercengkrama kecil. “Zor, kamu itu nggak bisa ta biasa aja ? kamu itu kenapa, sich ?” kata Lia tiba-tiba. Dia tanpa basa-basi berkata demikian, jelas aja Zora menimpali “nggak ada apa-apa koq.” Lia yang paling gencar menginterogasi Zora tentang something, tapi Zora tetap aja nggak buka mulut. Sedikit secret, “ada mata-mata di kelas kita. Dia selalu melongok di jendela. Itu sebabnya aku sesekali buka jendela. Tapi terkadang dia memata-matai dari dalam,” kata Zora tiba-tiba. Aku sudah pernah dengar tentang ini dari Riza. Aura mistis mulai merambah alam bawah sadarku, ketika Lia melontarkan pertanyaannya lagi “Yang mata-mata’in orang atau bukan ? Kita bisa liat dia nggak ? kamu punya teman khayalan? Kenapa kamu suka ngomong sendiri ?” tanya Lia rentetan. 1 per 1 Zora menjawabnya, “yang mata-mata’in kelas kita orang, kalian bisa liat koq. Aku nggak pernah punya teman khayalan, dan yang kamu liat itu aku sedang ngomong dengan seseorang yang kalianpun bisa melihat sosoknya.” Aku berusaha mngalihkan pembicaraan ini, karena parno banget. Tapi mereka sudah dalam tahap yag lebih serius. Zora nggak mau share ke kita, karena ada seseorang yng melarangnya. Bahkan keluarganya nggak tahu. 1 pertanyaanku padanya, who’s she aim ?
9 April 2011
“Aku pernah di sms sama Zora, Tan ! Gila panjang banget smsnya. Intinya Dia merasa jauh dari Allah dan sedikit atheis juga. Imanya mulai goyah karena seorang yang kian berpengaruh dalam hidupnya. Tapi yang jelas dia bukan orang tuanya. Melainkan seorang yang pernah bilang ‘I LOVE YOU’ ke Zora,” tutur Riza panjang lebar. Aku menyeringai sambil mengernyitkan keningku. Aku semakin bingung mencerna kata-kata ini. Ada sedikit rasa percaya dalam benakku tentang kata-kata Riza. Sebentar kemudian dia berkata lagi “2 hari yang lalu, anak Bali itu meneleponku. Tapi yang ngangkat adikku. Orangnya ngomong panjang lebar, tapi adikku diam aja. Dari logatnya dia beneran anak Bali, Tan !”
Kata-kata Riza ku telan mentah-mentah. Sungguh tak bisa dinalar. Kehidupan Zora begitu aneh, tanpa 1 misteripun terkuak.
Dikolam renang, masih dalam hari yang sama. “siapa sich, Zor dia ?” kusisipkan pertanyaanku yang apabila dijawab BINGO. Dia rupanya mengerti pertanyaanku yang begitu singkat. “Dia yang sering telepon kamu.” jawabnya setelah terdiam beberapa saat. “Gede ?” yang dari bali itu ?” tanyaku shock sambil melotot. “Iya. Sebenarnya namanya bukan Gede. Dia nggak dari bali koq. Dia dulu sekelas sama aku di SMP. Sekarang dia masih di Sidoarjo. Dan dia cuma bohong sama kamu,” kilahnya panjang lebar setelah berusaha mengelak beberapa kali. Nggak masalah aku dibohongi sama orang yang nggak ku kenal. “jadi dia yang amat berpengaruh sama kamu. Bahkan lebih dari Tuhan. Kalau dia dulu sekelas sama Zora, berarti Riza kenal donk,” pikirku.
Seminggu kemudian, ada seorang perukhyah berkunjung kekelasku. Atas permintaan walikelasku, Zora pasien rukhyah dari X8. Setengah jam kemudian, Zora tak bergeming. Dia jatuh tersungkur di lantai.
“Dia ini bukan teman anda. Sukma dalam raga yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya ini adalah seorang wanita Bali yang sengaja singgah. Sekitar lebih dari 1 tahun pemilik raga ini raib,” kata perukhyah itu.
“Dan dunia anda, berbeda dengan dunia makhluk ini,” katanya kemudian.
Aku lantas terhenyak dari pandangan kosong, ketika tawa yang begitu menggelitik mulai menggerayangiku. Aku baru saja tersadar bahwa aku berada jauh dari lingkungan orang normal. Raga yang selama ini kukenal sebagai Zora saat ini ada didepan mataku. Sudah lewat dari sepekan dia berada disini. Orangtuanya sendiri yang menempatkannya, mungkin mereka merasa takut sebab belakangan gadis ini dapat melihat kematian.

Sabtu, 16 April 2011

LOVE and LOVE

Apa itu Love, Cinta, dan Kasih sayang ? Love is not cinta. cinta bukan kasih sayang. Cinta itu hanya untuk tuhan, dan kasih sayang tercurah untuk sesama manusia. Cinta bukan untuk ratapan, tetapi cinta untuk suatu keikhlasan. Kasih sayang tidak untuk kesamaan, tetapi berpaut untuk beragam perbedaan.
Pluralitas butuh pengakuan, namun pluralitas tidak untuk egalitas. Pluralitas membawa keindahan. Membantu kita untuk menemukan spesial kehidupan. Bayangkan jika tak ada pluralitas di dunia ini ,
Bayangkan jika semua manusia tercipta sebagai laki-laki, bayangkan jika manusia hanya terdiri dari hati yang kian merah nan kelam, bayangkan jika tak ada siang disini, Bosankah anda ?
Allah sudah sangat adil, tetapi mengapa timbangan keadilan ini ditambah anak timbangannya ???? Hingga pluralitas berangsur-angsur berubah menjadi kesamaan yang membosankan. Muak. Megundang pada pesta darah dan pertikaian.
Buatlah dunia ini semakin rindang dengar daun-daun yang menyelubungi pluralitas itu. Tebarkan kasih sayang agar tak mati. Dan biarkan akar-akarnya menghunjam jauh kedalam bumi hingga merambah mata air yang jernih. Biarkan ia tumbuh sendiri tanpa dirawat. Karena kita tak bertugas untuk merawatnya, tetapii menjaganya agar kasih sayang ini tak ditebang orang.
Jangan enggan berkawan dengan gulma, jangan kamu tusuki hama dengan durimu. Tapi biarlah ia merambat hingga pucuk-pucuk daunmu. Hingga dia akhirnya tinggi dan mendapat seberkas sinar matahari karena keelokanmu.
Memang baik jadi yang terpenting, tetapi lebih penting jadi yang terbaik. Akuilah bahwa hidup ini adalah pilihan dan nafas ini adalah kesempatan. Dan ada saatnya harus memilih antara yang terpenting dan terbaik, antara perbedaan ditengah kesamaan, antara pemenang dan terpiawai.
Teruslah menyemai benih kasih sayang, agar kita pun dapat menuainya. Biarkan kasih sayang itu sesekali singgah ke lain hati. dan jangan paksakan itu.
But, Allah always for you......

Jumat, 15 April 2011

Semua Tentang Qta, X8 ku

Senin, 23 agsts '10

Setelah ritual penjemuran 'upacara bendera', sebanyak 31 pasang kaki berebut memasuki
distric X8 dengan face yang manis,imut-imut dan agak malu-malu. Sekitar 7 jam dalam sehari kita bersama. Dari jam 06.30-13.00 diruangan ber-AC 1 with a fan.
Dengan segala daya, meLalui voting, kita berinama Kelas ini SULAPAN CIBUK. Sepuluh Delapan Cinta Bu Tinuk, begitulah makna dari nama sakral itu. Salah 1 dari qta mendaftarkan SC ke acount jejaring sosial facebook. One by one from us have added SC to be his/her friend. Dan ini awaL qta untuk saling mengenal.
Lamama kita menghuni distric ini, banyak yang mulai unjuk kebolehan. 'AVAN' si magician, menyulap kelas menjadi arena serbaguna. Kelas mulai ramai dan heboh dari ritual main UNO (setiap pagi) sampai main catur.
Dan lambat laun sudah mulai luntur keimutannya. Cz sudah keliatan sifat aslinya. Banyk yg jadi korbn 'ihiy-ihiy' karena CinLok.
Tetapi kelas ini nggak damai seperti dulu lagi, Mulai lahir 4 blok: MAN, STM, SMK,
SMA. Dimana 2 diantranya berseteru (MAN & STM). Akhrnya jaiL-jail_an g bisa
dielakkan lagi,. MAN pernah menyembunyikn sepatu ikhwan, sdangkn STM
pernah ngajak MAN gasakan. Lahir jga beberapa nama beken: adek (farin),
maski (arga), semok (rizal), ninja (novy). Sejumlah kedok anggota X8 mulai
terbongkar, dari pacaran dgn kLs lain atau sekolah lain.
G terasa sudah lama qta bersama, melalui peristiwa sedih & senang bersama. Menghabiskam waktu untuk tertawa dan bercengkrama walaupun untuk sekedar gila-gila'an.

Distrik sulapan cibuk g cuma buat belajar saja, tetapi juga tempat ajang game online, nnton film, dan narsis-narsia'an.
Semoga keLas XI nanti qta bsa masuk jurusan yang qta ingin, dan ini untuk
kenang-kenangan supaya pengalaman itu g berlalu gtu ajj.

Mau Dibawa Kemana

Semuany akan baik2 saja. Tenang dan
statis sprti ini. Meski prgolakan kecil snantiasa mbyangi. Ttpi knytaan
brkta lain, 'taq ad korelasi yg taq brujung kcuali "hamblumminallah".
Seiring b+ hari, kbrsmaan qta kian mncpai ambang batas prpishn. Dan qta
bnr2 mmprtruhknnya demi sbuah kursi pda progrm pnjrsn nnti. Prtmuan yg
dlu pngkL solidaritas, sktika brubh mnjadi ujung prpchn. Y, kLiant n
saya juga psti taq smpt lagi mngenang kbrsmaan n prhelatan yg prnh qta
rengkuh brsma, sibuk mnyusuri jalan hidup msing2.

Sadar atau tidak
Sulapan cibuk berada pada kondisi yang kian rentan. Namun, Berusaha
untuk tetap bergelora di nafas-nafas terakhirnya, disela-sela tawa
kalian, ditengah kepuasan kalian bermain 'DOTA'. Jika sdh saatny,
SULAPAN CIBUK akan hengkang dari peredaran, sbab qta taq brnaung dsna
lagi. Maka, selagi smua msih disini, selagi shbt msih mmbrikn arti dhti,
brikn apapn yg mnurutmu pnts untk qm brikn. Krn qta taq bisa slmanya
sling mmiliki n mnatap. K-30 tmn tbaik.q diantara yg tbaik dan ttap
selalu jdi yg tbaik.. Jika suatu ktika qta sling prgi, nmun taq prnh
saling meninggLkn. Ttpi, MAU DIBAWA KEMANA moment indah ini ? akankah
hanya sekedar catatn kecil yang hambar ??? atau goresan-goresan pilu
yang memoles otak??

Kebersamaan Kita Adalah Jiwa kita, dan Semua
tentang Qta.Kupikir ini eforia yang terlalu berarti untuk digulirkan
begitu saja, untuk ditepis oleh apapun juga, dalam suasana yang genting
sekalipun.

#Latepost BUAYA KESAYANGAN MOZA

Lepas ulangan, kelasku dilanda dilematis, betapapun mereka berusaha untuk menutup muka agar tak tersirat. Tetapi senyum mereka seolah dipaksakan, bahwa mereka tak bisa bohong kalau mereka patah hati karena matematika. Ceritanya, kita hendak bertandang ke rumah moza. Ya..acaranya GJ bangetss sich ! cuma sekedar ritual makan-makan. Tentunya dengan merogoh kocek yang nggak sedikit. Pokok’e ada modal ‘BUDHAL’. .
Beberapa patung hindu-buddha dan power ranges bersiaga menyambut kedatangan kami. Entah aku yang aneh, atau auranya yang terlalu silu. Manakala aku menilik, wah ! parah pokok’e. Aku ingin mengurungkan ajakan temanku untuk benar-benar mengulik ‘gimana sich moza 2h ?’. tetapi semakin aku menepis rasa ini, semakin ketakutan ini menggulingkan keberanianku. Dan aku terlihat aneh direngkuhnya. Lebih nyleneh bahkan, ketika pandanganku menangkap seekor buaya melintang ditengah sekat kawat. “hadoow,, moza ini. Anak kayak gitu peliharaan’e kayak gitu”, pikirku yang harus kubungkam selalu. Masa bodoh aku dengan buayanya, ya..walaupun buaya itu dengan tatapan tajam menusuk mataku. Singkatnya, kami mulai menggelar aneka pengisi perut dilantai. Ketika sebuah lukisan keluarga yang jauh sebelum kami lahir sudah nimbruk di dinding rumahnya moza. Lukisan itu semakin menambah kesan ngeri. Wow ! itu belum cukup. Beberapa tanduk rusa turut nggantung di dinding mungil itu. Galery art banget dech pokoknya. Aku tak tahan bejibaku dengan kondisi seperti itu. Kondisi ini terlalu mencekam persis film rumah darah yang pernah kusaksikan dengan teman sekelasku. Disela-sela makanan yang menyumpal mulutku, Sesekali kulihat tatapan kosong moza yang begitu tajamnya kearah sudut-sudut tempat tinggalnya. Persis 1 jam kita berkelut dengan keseharian moza, mati gaya, pekh !! seakan retorika hengkang dari potret hidupku karena catatan buram ini. Kita beranjak dari rumah itu dan kayaknya nggak akan kembali lagi. Dan kita benar-benar berjanji untuk itu. Ini 1 untuk yang terakhir kalinya. Ya..tapi betapapun kita berada dalam kondisi rentan kita nggak lupa adat. Foto sana-sini, jepret dari segala sudut pandang dengan senyum manyun penuh kenarsisan. Sorry2 aja, untuk yang satu ini kita nggak akan pernah mati gaya.
Akhirnya, udara segar bisa kembali kuhirup. Serasa baru keluar dari...ehm dari apa yaa?? Pokok’e dari itu_lah. Dari sini, aku bisa ambil sedikit kesimpulan bodoh, “akankah moza kayak gitu karena kondisinya yang terlalu sunyi..??” aku tersirat dari lamunan itu ketika suara temanku menggema mengusik kegalauan dalam otakku “ayoo, Tan ! pulang nggak ?”. dan aku benar-benar menangkisnya, biarlah moza saja yang tahu. Karena aku tak berhak untuk tahu.
Sampai rumah, kulempar tasku sekuat-kuatnya. Tak sanggup rasanya aku memanggulnya lagi. Apalagi kakiku yang rasanya begitu “TEPAR”, hehe habis lari 10 putaran wah !!! Wait for ??? kujatuhkan badanku yang begitu ingin terkulai di kasur yang empuk. Berusaha menghapus ketakutan yang masih tersisa dalam benakku. Tetapi itu begitu sulit. Moza terlalu hambar. Jauh bertolak belakang dengan apa yang kulihat disana. Kupejamkan mataku, menunggu saat maghrib tiba. Tentunya berangan dalam tidurku nilai 100 untuk matematika dan fisika (yang semoga akan jadi kenyataan).
Tuhan, semoga nafasku esok hari bisa lebih bergelora

QUALITY TIME AT THE END OF SULAPAN CIBUK

Bersamaan dengan hari anti narkoba, 26 Juni 2011. Sejumlah muda-mudi berkaos hitam menyuarakan bahaya narkoba. Mereka membawa spanduk raksasa dan membagikan pamflet pada pengemudi kendaraan yang berjaga ketika lampu merah bersiaga. Tak jauh dari sana, terdengar riuh perhelatan band di sanggar budaya sidoarjo. Gila ! Punkers menyemut ditrotoar. Pemandangan ini sungguh membuatku risih. Apa nggak ada kerjaan ya, dibanding berkacak pinggang dijalan sambil menjambul rambut, menindik lidah, bibir, dan hidung.
Ah, bodo banget. Itu dunia mereka. Menilik dari dunia mereka, sampai larut malampun aku belum juga packing untuk tour besok. Ya walaupun cuma ke Malang, tapi ini pengalaman sekali seumur hidup juga sebagai pelepasan Teeneigers−sebutan baru untuk kelasku.Rasanya belum pas perjalanan ini kalau aku tak membawa serta seuntai headset. Sialnya, menjelang detik-detik keberangkatan entah kenapa headsetku mati sebelah. Padahal sudah kubayangkan gimana asyiknya mendengarkan lagunya JB during trip.
Senin, 27 Juni 2011
Sebuah bus besar sudah stand by didepan smanisda mungkin jauh sebelum aku tiba.
“Wuiih, Intan Bieber,” teriak beberapa temanku hampir bersamaan.
Aku tersenyum kecut pada mereka mengingat beberapa hari lalu account FB ku sempat nonaktif karena username ku berubah. 15 menit, 30 menit, keberangkatan mundur. Menanti seorang yang amat spektakuler, −mOzA−. Hampir dari ¾ temanku keluar bis, berdiri cemberut sambil melipat tanggannya. Ada juga yang menyambungkan tangannya kepinggang. Sekilas dari balik jembatan layang banyak kendaraan melaju, tapi terlihat jelas satu diantaranya.
“Itu moza....” celetuk Almira seolah mengaba-aba. Telunjuknya meliuk sampai sang putri moza turun dari boncengan mamanya tepat didepan matanya.
Suasana didalam bus sedikit gaduh, dan tak perlu diceritakan. Singkatnya begitu kami sampai di Jatim Park 2 kami sempat mengabadikan beberapa foto sekelas. Rafinda dan Dina bergantian menjepretnya. Lumayan lama lah kita muter-muter cuci mata ngliat’in satwa-satwa langka, sekarang waktunya back to bus.
“Eh...moza mana ??” mata annisa terbelalak.
Anak itu berjalan entah kemana, barusan dia mengekori kita tapi sekejam begit kita sudah berada di pintu keluar dia nggak ada. Malangnya kita nunggu moza sampai sekitar 15 menit. Dan “Blaaa” dia keluar gift shop dengan muka innocent.
“Astaga,....celananya jauh MELOROT dan sebentar lagi pasti jatuh” bisik endah.
“Hiii hiii” aku tertawa kecil melihat anak itu yang sama sekali tidak merasa.
@ BNS
Malam ini, akan sangat rawan kalau moza hilang lagi. Mula-mula dia mengikuti aku dan arofah naik wahana kursi terbang.Tinggi dan ngeri berputar-putar diatas kepala orang. bahkan tak jarang yang menjerit. Selepas ini, aku dan arofah menghabiskan sisa durasi di rumah lampion. Setidaknya sampai pukul 23.00. Yheee ! moza beralih mengikuti Dita dkk. dan lagi-lagi yang mengesalkan, semua siswa baik cewek maupun cowok sudah bersiap menuju bus. Avan mulai berhitung komat-kamit 1,3,5,10,....uhm kok cuma 26, katanya. Moza hilang lagi.
“Uhh, anak ini mau tak borgol. Ilang sampai yang keduakalinya. nggak kebayang besok di Jatim Park 1,” keluh annnisa.
Tak kurang dari 10 menit selanjutnya ia menampakkan batang hidungnya.
@ Jatim Park 1
Tujuan utama nyoba’in sensasinya rumah hantu. Mengantisipasi hilangnya moza, kita ber-27 jalan bareng.
“Eh, asyik tuh naik itu” salah seorang dari kami bersua.
Setelah tunggu-tunggu’an, rencananya kami mau ngantri di keraton misteri. Yah yang mau aja, sih ! Aku kebagian baris nomor dua dari belakang, paling belakang moza. Tiba-tiba fauqi menoleh
“masuknya 6 anak. Terakhir aku, nggak tau boleh nggak kalau 7.”
Aku mengernyitkan keningku, bergegas balik sebelum ada orang dibelakang moza. tapi sebegitu inginnya dia mencoba adrenalin diwahana ini hingga ia menghalangi jalanku. Tak hanya itu, di menarik tanganku supaya aku nggak balik.
Dan,....moza berhasil mengurungkan niatku untuk balik setelah datangnya segerombolan barisn setelah moza. Alhasil, Yan mundur kebelakang moza. Mendekati pintu masuk justrumoza yang terlihat takut. Dia mengajakku untuk mundur tapi nggak mungkin juga. Akan terasa sarat melewati banyak orang apalagi kita sudah berdiri dimulut pintu. Moza ragu-ragu menjawab introgasi fauqi, ia secara terang-terangan mengalihkannya ke aku.
Kesannya, dilorong itu nggak begitu gelap. Seseorang yang pernah dua kali menggandengku tanpa sengaja menggantikannku diposisi baris paling belakang. Dia membawa senter HP. 4 teman sudah jauh beberapa langkah didepanku. Tapi orang dibelakangku ini merangkulkan tangannya dibahuku, hingga kami tertinggal dibelakang sampai sebuah belokan yang jauh lebih gelap.
“Tan, nggak usah takut. Aku selalu dibelakangmu,” begitu katanya.
Ditengah perjalanan kami menyusuri lorong mirip labirin itu, akhirnya langkahku sejajar dengannya. Sebuah lemari tua tiba-tiba terbuka dan reflek, aku menggenggam pergelangannya dengan erat.
“Eh, maaf aku nggak sengaja,” kataku.
“Nggak apa-apa”
Mendekati pintu keluar, temanku berlarian menahan ketakutan, sementara aku dan orang dibelakanku itu masih tertinggal jauh dari langkah mereka.
“Thanks, ya” ucapku. Dan dia tersenyum.

AWALNYA KITA....

16 April 2011.
Menyambut libur panjang karena sang ambang batas sedang meregang, apa ? UNAS-lah. Belum sempat kami menghela nafas panjang, tiba-tiba....whuuuiiihhh papan tugas seketika menjadi penuh. Tak ubahnya rekening koran. Jangankan untuk mencatat tugas tersebut, sepertinya untuk sekedar melihat saja butuh kesiapan mental. Beberapa siswa mulai menggerombol tidak dengan buku catatannya tapi dengan kamera HP yang siap dimainkan. Biarlah mata kamera saja yang merekamnya.
Ceritanya, hari ini sepulang sekolah kita hendak mengunjungi Pameran Kompas Gramedia yang katanya diskon 70% itu. Naik mikrolet bareng Dita, Cicil, Novy, Wulan, dan Titin lumayan malu-malu’in. Nggak bisa gitu diam tanpa teriak-teriak rebutan Nakajima Yuto-lah, Chinen-lah, Ryu-lah. Bbehh !!!
Begitu turun dari mikrolet, tanpa pikir lama-lama kita langsung masuk ke lobi Gramedia Expo. Langsung deh, pencar ! Aku dan Cicil memilih buku intisari mata pelajaran, Wulan dan Titin membingungi komik yang tampaknya menarik, Dita dan Novy....entah mereka dimana ?
Akhirnya, kita semua nimbruk di depan stan kamus bahasa asing. Mereka sibuk membaca beberapa grammar bahasa Jepang. Tampak serius memang, karena Nihongo mulai mendunia. Dan mereka berniat membelinya. Tiba-tiba, kudapati wajah Novy memerah.
“kenapa, vy?” tanya Dita heran.
“Aku ingin beli yang ini, tapi cuma bawa duit 10rb,” jawabnya tanpa malu-malu.
“Emang, itu harganya berapa?” tanyaku lebih lanjut.
“20rb. Tadi sudah tak liat-liat. Dari sederetan buku bahasa jepang yang termurah ini. Nggak ada yang 5rb ta...biar aku bisa beli makan juga ?” harapnya ragu.
“Mana biar aku yang beli, ntar kita saling pinjam,” kata Cicil kemudian.
Novy terlihat lebih tenang usai Cicil melontarkan kata tersebut. Aku tak menyalahkan, memang susah orang berduit sekarang. Novy pun kesini, memenuhi buku pesanan ayahnya saja.
Hal yang membuatku cukup trenyuh adalah kita tak dapat diskon sepeserpun sebagaimana promo yang nampang pada Baliho dijalan-jalan. “pamerannya di lantai dasar, dek ! Disitu baru ada diskon yang gede-gede’an. Lha kalau disini nggak ada. Harganya normal.” mendengar penjelasan pramuniaga tadi, akupun merasa terkecoh. Nggak mungkin juga kalau bukunya ku hempaskan ditempat semula walaupun transaksi belum terjadi. Sebab, belum tentu kujumpai pula buku yang sama ditempat pameran.
Dengan langkah gontai, kami turun ke lobi. Muter-muter masuk ke stan demi stan. Tapi, nggak dapat apa-apa, tuh ! Kita lantas masuk ke stan makanan. Berniat membeli makan siang diwaktu sore begini. Lagi-lagi novy memilih untuk tak makan karena harga makanannya mahal. Iya, sich ! Dan Novy juga memilih beli Aqua ketimbang teh elite yang harganya super itu. Akhirnya kita semua makan. Dita yang bayar’in Novy. Kita makan ndloosor diteras lobi. Orang-orang yang melintasi lobi, menikam kami dengan pandangan aneh, ketika kami sedang lahap makan. Seperti gelandangan, sich. Daripada makan berdiri seperti binatang.
Aduhhhh, hari ini begitu melelahkan. Tapi senyum yang membahana itu selalu mengalun indah dalam benakku. Aku bisa tersenyum lepas, tertawa bebas, dan pengalaman mbolang ini menjadi pengawal dalam kisah hidupku. Terima Kasih, teman !

HILITE NEWS READER CONTEST

2 Maret 2011

Terlalu pagi kubuka hari ini. Sungguh mengginggil ku merambah air wudlu. Kubuka lemari, dan kutarik beberapa helai seragam harianku. ”Astaga !” Aku segera ingat. Hari ini takkan sampai kakiku di SMANISDA. Agendaku bertandang ke UNAIR bersama Via, Ariska, dan Ully untuk turut menanggalkan nama sebagai peserta HILITE News Reader CONTEST.
Jalanan masih sepi, ketika ku dengan high speed meluncur ke tengah kota menuju Stasiun Sidoarjo. Rupanya, sepagi ini segelintir orang sudah memadati areal loket. Tetapi tak kujumpai 1 pun kroniku bersiaga disana. Aku sedikit tak percaya diri. Takut kalau-kalau salah stasiun. Jari-jemariku mulai menggerayangi tuts-tuts ponsel. “Hallo, Tan ! Kamu sudah dimana ?” katanya dari seberang. Berkisar 10-15 menit kemudian, kucium tangan Bapakku. “Assalamu’alaikum.” kataku tiba-tiba. Dan Bapakku menjawab lirih “Wa’alaikum salam.”
Komuter yang dinantikan datang dari selatan, membukakan pintu untuk penumpang yang seraya menyerbunya. Kulepaskan sebuah sandaran tasku dan kupalingkan kedepan. “Fuck !” kataku dalam hati. Bangku panjang sudah penuh, dan tak tersisa 1 peganganpun. Sesekali aku terdorong kedepan. Dan beberapa lelaki setengah baya mulai beranjak dari tempat duduknya, lalu menghempaskan sepatunya diatas kakiku. “Aw..” aku berseru kecil. Tetapi orang itu tak sedikitpun berniat meminta maaf padaku. Segera aku ingat. Bahwa kubertanggungjawab atas tas yang kubawa kini. Kurenggangkan jariku, kudekap erat-erat dengan kedua belah tanganku. Dan orang itupun melangkah kian maju. Seklebatan mataku menangkap pemandangan yang begitu tak asing. Ya, kereta ini tengah melintas didepan SMANISDA. Sudahkah teman sekelasku memenuhi bangku X8 ?
1,2,3,....10 palang kereta yang dilampaui oleh kereta ini. Dengan beberapa pasang mata yang memadati kedua sisi palangnya. Beberapa kali kereta ini menghampiri calon penumpang di beberapa stasiun lintas kota. Dan kenampakan ini yang mengganggu. Ternyata, kereta ini berada dibalik pemukiman kumuh nan padat penduduk dan tak terjamah manusia berdasi. Aku tak berlama-lama memang menyaksikannya. Tiba-tiba seorang bocah lelaki berseragam merah-putih melangkah seribu kaki mengejar kereta yang melaju kian lambat dan akhirnya benar-benar berhenti.
Ya, Allah ! Hidup ku jauh beruntung. Di usiaku yang masih mengisi bangku SMA ini, seringkali aku merengek-rengek pada Bapakku untuk mengatarku kesekolah bila jalanan sudah ramai. Tak perlu berlari-lari seperti itu apalagi mengejar yang bukan tandingannya.
1 jam dalam gerbong ini, ku telah mempelajari makna hidup. Memang aku hanya bisa meliuk-liukkan kelopak mataku ditengah kesesakan ini. Tak bisa seperti orang Jepang yang sambil membaca buku. 2 belia disamping kiriku tiba-tiba bangkit dari duduknya. Rupanya mereka mempersilakan seorang tua untuk menghempaskan pantatnya dan menyandarkan punggung di bangku kereta. Lewat Stasiun Wonokromo, bangku kereta mulai renggang dan ini giliran aku, Via, dan Ully yang menikmati kenyamanan bangku itu. Malangnya, kereta itu bak sekejap berhenti didepan lajur-lajur stasiun Gubeng. Dan kami pun dengan hati-hati turun dari kereta.
Sepeninggal Stasiun ini, kami harus berjalan kaki kira-kira 500 meter untuk sampai diujung jalan karena ini pun bukan jalur angkutan umum. Dari ujung jalan itu, kami kiranya perlu menghitung berapa panjang RSU Dr. Soetomo dengan langkah kami. Rupanya, UNAIR itu bersembunyi disebelahnya yang hanya bersekat dengan sebuah jalan besar.
Inilah calon kampusku nanti. Mungkin sekarang ini aku merasa asing. Tetapi tidak untuk 2 tahun kedepan. Karena ini tempat belajarku selepas SMAN 1 SIDOARJO. Pertamanya kami menuju rumah Allah. Memanjatkan Ridho dan berharap kelancaran untuk hari ini. Setelah registrasi, kami menuju kantin FISIP. Alangkah terkejutnya, begitu mata ini menangkap puing-puing kayu tercecer disana. Bangunannya terlihat jauh lebih menyeramkan dari rumah Moza. 50% terlihat membekas sebuah kebakaran hebat. Jendelanya nyaris mengarang, sementara atapnya mengelupas hitam.
Pukul 08.00 kami sudah berada di ruang aula kembali. Sempat teringat, mungkinkah X8 sedang bergelut dengan asyiknya kimia bersama Bu Fin ? atau tertawa geli mendengarkan Bu Ruci yang super nggemesin itu. Aku semakin tak rela saja. Balaukah, 100rb sudah terlanjur melayang demi mencicipi UNAIR tanggal ini.
Singkatnya, dewan juri menempat namaku pada urutan ke-20 di daftar nilainya. Itu berarti aku kehilangan kesempatan untuk berlaga lagi di Babak Semi Final yang hanya menampung 15 orang saja. Tak ubahnya dengan Via, Ully, dan Riska. Mas Aziz, Precident of Efos yang mendampingi kami terlihat kecewa. Tak biasanya, SMANISDA gugur sebelum semifinal. Biasanya, dalam sekali bergelut, 2-3 piala pun berhasil diboyong.
Jalan kaki lagi. Begitulah nasib kami ketika itu. Ditengah panas matahari yang menjilat-jilat, rasanya kita tak sanggup jalan ke Stasiun Gubeng. Dasar anak Nyleneh, adat lama “NGAKAK GJ” nggak ketinggalan. Tetapi, betapapun canda kami, itu nggak berasa karena X8 jauh lebih heboh dalam hal tawa. Itu yang nggak pernah tergantikan oleh apapun juga.