Kasus penyiksaan atau dehumanisasi TKI di luar negeri terus saja bergulir. Apa yang terjadi dianggap oleh negara sebagai kecelakaan wajar dalam dunia kerja atau resiko pergulatan hidup di luar negeri. Berangkat dari kasus itu, logis juka kita mengajukan gugatan, benartkah pekerja Indonesia di luar negeri (buruh migran) masih menjadi warga yang punya negara? Benarkah negeri ini masih merasa mempunyai rakyat yang sedang bergelut mengadu nasib dan berjuang di negeri lain? Tidakkah yang terus terjadi menimpa TKI menjadi indikasi bahwa mereka menjadi gologan “warga tanpa negara”?
Secara de jure, negara ini memang masih mengakui bahwa TKI yang bekerja di Malaysia, Brunei, Hongkong, Arab Saudi, Singapura, dan sejumlah negara lain yang menjadi “primadona” TKI adalah warganya. Akan tetapi, dalam realitasnya, negara ini belum menunjukkan jati diri sebagai negara yang tampil prima dalam membela, melindungi, dan mengadvokasinya.
Mereka (TKI) yag sudah memberikan banyak devisa kepada negeri ini, yakni lebih dari Rp 10 triliun per tahun, ternyata dibiarkan menjadi anak negeri yang nyaris mutlak sebagai objek perdagangan manusia (human trafficking) atau kekerasan individual (majikan) maupun kekerasan korporasi (perusahaan) secara terus-menerus dan berlapis.
Selama satu dekade terkhir, angka kematian buruh migram melambung. Tidak hanya meregang nyawa, mereka juga menjadi korban kekerasan dan penyiksaan. Angka kriminalitas tersebut menunjukkan terjadi penurunan martabat bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain yang mengeksploitasi pekerja dari tanag air.
Data tersebut menunjukkan bahwa TKI yang bekerja di negara-negara lain menepati ranah layaknya menjalani hidup tanpa negara (life without state). Mereka tetap menyebut diri sebagai warga RI atau diakui oleh negara berstatus WNI, tetapi negara ini membiarkan harkat kemanusiaannya terus menerus diinjak-injak oleh bangsa, korporasi, majikan, dan khususnya bandit-bandit yang memperdagangkanya.
Mereka terpaksa menikmati pendritaan dalam diam atau menerima dehumanisasi yang menimpanya demi keberlanjutan hidup di negara lain. Sikap itu tak lepas dari perlakuan negara yang menempatkannya sebagai warga kelas dua (underprivilege) dan bukan elemen negara yang mempunyai hak hidup berkeadaban.
Negara sebatas bangga menerima kucuran uang triliunan rupiah dari pahlawan devisa. Negara kurang maksimal menindaklanjuti kebanggaannya itu dengan langkah humanis, progresif, dan cerdas dalam memediasinya. Negara baru menyiapkan antivirus ketika virusnya menampakkan (dipublikasikan) keganasannya dalam mencabik-cabik martabat TKI.
Ketika TKI sudah berada di luar negeri, pemerintah sebaiknya tidak sebatas menunggu laporan atau mendengarkan testimoni dari TKI yang bermasalah atau mencari kambing hitam kepada PJTKI yag diduga pelat hitam.
Stigmastisasi TKI sebagai warga tanpa negara akan berlanjut manakala yang disembuhkan oleh pemerintah hanya virus yang “sedikit” muncul ke permukaan. Kepahlawanan TKI terbatas sebagai gambaran komunitas serba tak berdaya di tangan elemen negara yang mengidap virus miskin kerja.
Inilah penderitaan yang membahasakan kondisi buramnya TKI di luar negeri. Mereka hanyalah sesosok warga tanpa jeda yang menghidupi dunia tanpa jeda, yang ternyata tak bisa dipandang sebelah mata.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar